Berikut Ini yang Qath’iy dalam Al-Quran Menurut Quraish Shihab

loading…

Prof Quraish Shihab. Foto/Ilustrasi: Ist

Al-Quranjelasqath’iy al-tsubut(kebenaran sumber). Hakikatnya merupakan salah satu dari apa yang dikenal dengan istilahma’lum min al-din bi al-dharurah. Sesuatu yang sudah sangat jelas, aksiomatik, dalam ajaran agama.

Lalu, benarkan tidak ada yang qath’iy dalam Al-Quran? Prof Dr Quraish Shihab mengutip Al-Syathibi menyatakan jika ditinjau dari sudut ayat-ayat tersebut secara berdiri sendiri memang demikian.

“Tetapi lebih jauh Al-Syathibi menjelaskan bagaimana proses yang dilalui oleh suatu hukum yang diangkat dari nash sehingga ia pada akhirnya dinamai qath’iy,” tulis Quraish Shihab dalam bukunya berjudul ” Membumikan al-Qur’an , Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat” (Mizan, 1996).

Menurut Al-Syathibi, “kepastian makna” (qath’iyyah al-dalalah) suatu nash muncul dari sekumpulan dalil zhanniy yang semuanya mengandung kemungkinan makna yang sama. Terhimpunnya makna yang sama dari dalil-dalil yang beraneka ragam itu memberi “kekuatan” tersendiri.

Ini pada akhirnya berbeda dari keadaan masing-masing dalil tersebut ketika berdiri sendiri. Kekuatan dari himpunan tersebut menjadikannya tidak bersifat zhanniy lagi. “Ia telah meningkat menjadi semacam mutawatir ma’nawiy, dan dengan demikian dinamailah ia sebagai qath’iy al-dalalah,” ujar Al-Syathibi.

Quraish Shihab mengatakan jika perhatian hanya ditujukan kepada nash Al-Quran yang berbunyi aqimu al-shalah misalnya, maka nash ini tidak pasti menunjuk kepada wajibnya salat , walaupun redaksinya berbentuk perintah, sebab, banyak ayat Al-Quran yang menggunakan redaksi perintah tapi dinilai bukan sebagai perintah wajib.

Kepastian tersebut datang dari pemahaman terhadap nash-nash lain yang, walaupun dengan redaksi atau konteks berbeda-beda, disepakati bahwa semuanya mengandung makna yang sama.

Dalam contoh di atas, ditemukan sekian banyak ayat atau hadis yang menjelaskan antara lain hal-hal berikut:

(a) Pujian kepada orang-orang yang salat;

(b) Celaan dan ancaman bagi yang meremehkan atau meninggalkannya;

(c) Perintah kepada mukallaf untuk melaksanakannya dalam keadaan sehat atau sakit, damai atau perang, dalam keadaan berdiri atau –bila uzur– duduk atau berbaring atau bahkan dengan isyarat sekalipun;

(d) Pengalaman-pengalaman yang diketahui secara turun-temurun dari Nabi SAW, sahabat beliau, dan generasi sesudahnya, yang tidak pernah meninggalkannya.

Kumpulan nash yang memberikan makna-makna tersebut, yang kemudian disepakati oleh umat, kata Quraish, melahirkan pendapat bahwa penggalan ayat aqimu al-shalah secara pasti atau qath’iy mengandung makna wajibnya salat.

Juga disepakati bahwa tidak ada kemungkinan arti lain yang dapat ditarik darinya. Di sini, kewajiban salat yang ditarik dari aqimu al-shalat, menjadi aksioma. “Di sini berlaku ma’lum min al-din bi al-dharurah,” kata Quraish.

Biasanya, ulama-ulama ushul al-fiqh menunjuk kepada ijma’ untuk menetapkan sesuatu yang bersifat qath’iy. Sebab, jika mereka menunjuk kepada nash (dalil naqli) secara berdiri sendiri, maka akan dapat terbuka peluang –bagi mereka yang tidak mengetahui ijma’ itu– untuk mengalihkan makna yang dimaksud dan telah disepakati itu ke makna yang lain. Nah, guna menghindari hal inilah mereka langsung menunjuk kepada ijma’.

(mhy)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *